Antara KEADILAN dan SOLIDARITAS

2 05 2009

Memaknai Hak Kultural Atas ‘Nuhu Met’ di Kep. Kei
(Makalah dibawakan dalam Seminar Sehari Mencari Format Resolusi Konflik Petuanan di Kep. Kei Kerjasama Yayasan Sevav Ratut, Pemda Kabupaten Maluku Tenggara, dan Institut Titian Perdamaian Jakarta, di Tual, 19 April 2007)

Josep A. Ufie
(Staf Pengajar pada FISIP UNPATTI AMBON)

I
Sebagai orang Kei, saya bangga dengan warisan peradaban dari Leluhur Kei yakni Hukum Adat Larvul Ngabal, saya bangga dengan filosofi kekerabatan dalam frase Ain ni Ain misalnya, tetapi pada saat yang sama saya juga prihatin dengan merebaknya berbagai konflik kekerasan yang melanda sesama saudara, kerabat, keluarga serumah, sekampung dan antar kampung tetangga misalnya. Sebagai seorang pemerhati & young scholar dalam bidang ilmu-ilmu sosial, saya amat tertarik untuk terus belajar mendalami dan memahami berbagai fenomena paradoksal di dalam visi & praksis sosial budaya masyarakat Kei – semacam culture self-reflection atas apa yang oleh Pakar Sejarah, Prof. Taufik Abdullah (2001) dilukiskan sebagai “harta lokal yang terabaikan”. Dan sebagai seorang social worker (praktisi sosial), saya merasa terpanggil untuk turut terlibat dalam upaya-upaya bersama membangun perdamaian hakiki dengan memperjuangkan penghargaan terhadap martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang memang terpatri di dalam Hukum Adat Kei. Salah satu bentuk keterlibatan tersebut dicoba dilakukan melalui presentasi dan diskusi hari ini khususnya mengenai topik di atas.
Perlu diakui bahwa isu-isu utama yang tercantum dalam topik di atas rupanya terlalu luas dan terlalu besar untuk dibahas tuntas dalam makalah kecil ini. Makalah ini juga tidak berpretensi untuk memberikan semacam blue print solusi final terhadap masalah yang dihadapi. Sebagai suatu pertimbangan awal (preliminary consideration), makalah ini, sampai tingkat tertentu, kiranya hanya menawarkan suatu perspektif & orientasi: semacam kerangka untuk meninjau masalah konflik petuanan atau konflik atas nuhu met di Kei. Kerangka budaya (cultural framework) tersebut mencakup baik kerangka konseptual yang dapat membantu mengarahkan perhatian kita untuk memahami dan menjelaskan seluk beluk & hal ikhwal tentang apa yang terjadi, maupun sebagai kerangka nilai yang membantu kita menghayati apa yang terjadi, dan bagaimana kita mengambil sikap terhadap peristiwa tersebut. Kerangka konseptual memberi kita pengertian dan pengetahuan, sedangkan kerangka nilai memberi bentuk dan isi kepada keterlibatan hati dan sikap kita terhadap peristiwa yang terjadi. Berikut ini akan dicoba dimulai dengan memetakan terlebih dulu konteks makronya.
Pada level dan konteks makro, maka eforia otonomi daerah dan desentralisasi yang dipraktekkan luas termasuk di Maluku cenderung ditafsir secara sederhana sebagai berhenti atau berkurangnya era dominasi negara atas masyarakat lokal dan dikembalikannya hak-hak masyarakat lokal dengan pranata adat budaya lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan & pembangunan di daerah (bdk. Perda Kembali Ke Negeri, No. 14). Kendati disinyalir oleh Dr. Ignas Kleden bahwa Otonomi Daerah dalam prakteknya adalah masih sebatas otonomi pemerintahan daerah, dan bukan otonomi masyarakat di daerah. Asumsi radikalnya adalah bahwa masyarakat lokal dengan kebudayaan lokalnya pada dasarnya merupakan sesuatu entitas yang telah ada, berada (co-exist) sedari mula tanpa masalah, seakan jadi ‘barang jadi’ dan ‘siap pakai’, untuk diterapkan tanpa masalah, karena masalah utama adalah dominasi negara atas masyarakat (dengan budaya lokalnya) bahkan condong tampil dalam wajah konflik kekerasan (konflik vertikal). Benarkah demikian? Ternyata tidak!
Karena di tingkat masyarakat (dan kebudayaan lokalnya) masih terdapat rimba persoalan yang kompleks nan misterius, yang belum teratasi baik oleh masyarakat sendiri selaku agen budaya, maupun oleh pemerintah, dan bahkan belum diketahui dan dipahami secara ilmiah akademis. Banyak sekali persoalan sosial budaya lokal (konflik horisontal-komunal) yang terbiarkan tanpa kejelasan pemahaman, dan berbagai persoalan mendasar yang melanda orang Kei hingga kini di antaranya adalah persoalan konflik atas nuhu met (tanah/pulau) yang menjadi sentrum berbagai paradoksalitas sikap hidup orang Kei.
Memang persoalan konflik komunal baik internal maupun antar kampung atau pun antar famili khususnya menyangkut akses kepada pendayagunaan sumber daya nuhu met kebanyakan merupakan warisan konflik kekerasan masa lalu yang bercorak sosio-kultural (termasuk riak-riak dari distorsi budaya yang dilakukan oleh kolonial & Orde Baru, TIM LIPI, 2006). Akan tetapi de-facto masih bertahan dan berlanjutnya kehidupan komunitas-komunitas masyarakat Kei dengan budaya lokalnya hingga kini sebetulnya mencerminkan masih ada dan berfungsinya semacam ‘mekanisme sosio kultural’ yang menjadi media pemulihan perdamaian dan pemulihan sosial. Jika tidak maka tentu yang terjadi adalah ‘perang semua lawan semua’ yang berakhir pada kehancuran kehidupan semua.
Pertanyaan kritis yang perlu dikemukakan adalah: apakah konflik (kekerasan) komunal atas nuhu met yang terjadi sekarang ini adalah disebabkan, dipicu dan bersifat sosio kultural belaka ataukah mencakup pula faktor-faktor non kultural yang kompleks? (Keterlibatan tertentu dari orang-orang kampung Selayar dalam konflik kekerasan antara Dian & Debut dalam arti tertentu mengindikasikan soal ini?). Pertanyaan kritis semacam ini penting dikemukakan di sini untuk menguji praktek serupa yang dalam logika disebut sebagai category mistakes (kesalahan kategori). Maksudnya adalah bahwa urusan-urusan budaya (baca: praktek adat) hendaknya dimaknai dan dihadapi juga dengan logika dan pendekatan kultural dan bukannya menggunakan serta mempraktekkan cara-cara yang non-kultural. Demikian maka urusan menyangkut konflik petuanan (nuhu met) misalnya pada dasarnya merupakan urusan sosio kultural yang kiranya ditangani juga secara kultural. Kendati sudah barang tentu berbagai kompleks soal non-kultural yang menyertainya tetap disadari dan ditangani pula. Dengan demikian maka salah satu pertanyaan yang dianggap relevan untuk dikemukakan adalah: “Bagaimana memaknai ‘hak-hak kultural’ (‘hak milik’ & ‘hak makan’) menurut filosofi budaya orang Kei?” Bagaimana memahami masalah konflik komunal atas nuhu met sebagai masalah konflik budaya atau disintegrasi budaya? Atau tegasnya bagaimana masalah konflik sosial (disharmoni) tersebut mencerminkan adanya disintegrasi budaya tertentu?
II
Menurut Ignas Kleden (2007), suatu kebudayaan dikatakan mempunyai integrasi kalau kebudayaan itu dapat menghubungkan berbagai lapis kebudayaan dalam suatu konfigurasi, yang secara fungsional saling menunjang dan secara simbolik memberikan makna yang dapat dihayati oleh para pendukung kebudayaan tersebut. Lapis lapis kebudayaan itu berupa dunia fisik dan material; dunia sosial berupa bentuk-bentuk tingkah laku dan interaksi sosial, dan dunia simbolik yang berisikan pengetahuan, kepercayaan, serta nilai-nilai yang menjadi pegangan sekelompok orang. Gangguan pada salah satu landasan budaya akan mengganggu lapis yang lain yang membawa disintegrasi budaya, disharmoni sosial, dan disorientasi hidup.
Demikian maka, nuhu met (tanah) merupakan landasan fisik (ekonomi) dari kebudayaan; seterusnya pranata sosial, interaksi sosial dan tata cara atau tata bagi pendayagunaan nuhu met (pulau/tanah air) tersebut merupakan landasan sosial dari kebudayaan, sedangkan sumber pengetahuan, mitologi, legenda, dan hukum adat tentang asal usul tentang tanah atau nuhu met merupakan landasan simbolik dari kebudayaan. Di sini diasumsikan bahwa terjadinya disharmoni sosial (baca: konflik komunal) atau disintegrasi kebudayaan disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi (hermeneutika) pada lapisan simbolis, dan perbedaan perlakuan sosial terhadap nuhu met atau tanah (landasan fisik-ekonomis) dari para agen budaya (Debut & Dian misalnya) yang tidak bisa terjembatani sedemikan sehingga menghasilkan konflik. Jalan pikiran seperti ini dengan demikian akan sedikit merelativir pandangan simplistis yang hendak mempersempit persoalan hanya sebatas perkara klaim kepemilikan atas nuhu met saja.
Atas cara ini maka dibutuhkan sebetulnya suatu pemahaman budaya yang lebih holistik dan kontekstual sebagai ‘pengetahuan yang diperoleh dan dibagi bersama orang lain, yang memungkinkan orang menafsirkan pengalaman-pengalaman mereka dan menentukan tingkah laku suatu komunitas masyarakat’ (Quack, 1996: 44), termasuk dalam hal pengetahuan dan pemahaman terhadap masalah konflik petuanan tentang makna nuhu met di Kei. Itu berarti tanah atau nuhu met tidak bisa disederhanakan hanya sebagai perkara fisik (kepemilikan) melainkan hendaknya dicari dan digali makna relasional dan nilai kultural dari tanah atau nuhu met secara holistik. Pada titik ini maka persoalan ‘hak milik’ (dan ‘hak makan’ misalnya) atas sumber daya nuhu met kiranya cocok dimaknai sebagai ‘hak-hak kultural’, yakni hak-hak yang lahir dari proses historis dalam praktek dan dinamika budaya masyarakat Kei yang dalam hal ini mencakup hak milik (& hak makan) terkait dengan pendayagunaan sumber daya nuhu met (baca: tanah). Lantas, bagaimana menjelaskan makna kultural dari nuhu met menurut filosofi budaya orang Kei?
III
Antropolog, J.R. Bowen (2000) pernah menganjurkan perlunya dikedepankan semacam ‘konsep-konsep (tafsiran) lokal yang spesifik secara budaya menyangkut manusia, teritori, dan berbagai kolektivitas lainnya. Dalam konteks budaya Kei, maka makna (‘hak’) kultural atas tanah atau nuhu met dapat tercermin dari pernyataan berikut ini: “wahan suen tuflat/ turat enyau, renad urad helad did” // “apapun yang mendasari kehidupan kita akan tetap dapat meletakan batas wilayah bagi kehidupan kekeluargaan” (Wawancara dengan Raja Dullah & tokoh masyarakat Kei dalam A. Amirrachman, 2007). Di sini term nuhumet disatukan karena orang Kei juga menafsir air ‘laut/meti sebagai lahan daratan yang tergenangi’ (V.P.H. Nikijuluw, 1998). Ada dua nilai hakiki yang terkandung di dalam makna kultural dari nuhu met atau tanah tersebut yakni (1) aspek batas wilayah/kepemilikan (nilai keadilan), dan (2) aspek kekeluargaan. Antropolog Belanda, P. J. Boelaars yang dikutip dalam Yong Ohoitimur (1983) mengatakan atas cara yang lain bahwa ciri kolektif masyarakat perladangan di Kei adalah (1) taat hukum (baca: berkeadilan), dan (2) kasih sayang (kekeluargaan); bahwa ketaatan pada hukum adalah demi menjaga kekerabatan. Adapun rumusan pernyataan yang lebih terang tentang kedua aspek budaya dari nuhu met (tanah) tersebut adalah sebagai berikut (dalam TIM LIPI, 2006): bahwa tanah merupakan pusat yang melalui mana hubungan kekerabatan (kaitannya dengan saudara perempuan) terbentuk. Dan ini merupakan persoalan utama dalam hukum adat larvul ngabal. Dengan demikian tanah dan saudara perempuan disini pada hakekatnya merupakan simbol dari keterkaitan antara hak milik, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hubungan kekeluargaan. Pada titik ini, telah diakui adanya hak kepemilikan atas tanah atau nuhu met. Ini dipromulgasikan dengan tegas di dalam Pasal 7 dari Hukum Adat Larvul Ngabal yang berbunyi : ‘hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did’ : ‘milik orang tetap milik orang, milik kita tetap menjadi milik kita (= jangan mencuri). Ini sekaligus menjamin keadilan sosial bagi semua. Keadilan berarti memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya. Persoalan yang paling kritis adalah: kepemilikan oleh siapa? Corak kepemilikan macam apa? Dari mana sumber/dasar kepemilikan tersebut diasalkan? Bagaimana menghubungkan soal hak milik ini dengan aspek kekelurgaan?
IV
Patut diakui bahwa di Kei tidak ada tanah prona (tanah milik negara), juga tidak ada tanah milik individu an sich; yang ada adalah tanah dati (tanah milik keluarga atau ohoi nuhu). Itu berarti tanah di seluruh kepulauan Kei telah terbagi habis ke dalam kepemilikan kolektif atau bersama, entah secara keluarga maupun secara ohoi nuhu. Ini dilukiskan dalam rumusan hukum ngabal yakni: “Ngabal En Turak” artinya membenarkan adanya batas wilayah kepemilikan setiap ohoi atau kampung (aspek legalitas). Kejelasan tentang batas wilayah ini umumnya diketahui bersama secara lisan oleh masyarakat secara turun-temurun. Biasanya masyarakat jaman dulu secara tradisional-konvensional menggunakan tanda-tanda fisik alam (pohon, atau batu, misalnya), untuk memberi tanda batas wilayah dengan tetangga atau pihak lain. Pemberian tanda batas dilakukan melalui konvensi adat dan tidak pernah dipetakan. Oleh karena itu, sejak dahulu hingga sekarang tidak ada seorangpun yang bisa menggambar peta batas wilayah petuanan masyarakat Kei.
Patut digarisbawahi disini bahwa para leluhur Kei sejak dahulu kala hanya menggunakan tanda-tanda alam tersebut sebagai tanda batas sesungguhnya (= tad) terkait erat dengan hubungan saling percaya yang dibangun karena mereka jujur satu sama lain dalam mengatakan dan mengakui kebenaran masing-masing. Hal ini mengingatkan kita pada konsep ilmu sosial tentang kepercayaan yang didefinisikan sebagai suatu mekanisme sosial untuk mereduksi kompleksitas atau kerumitan sosial, termasuk problem birokratisme yang tidak perlu. Dan mekanisme sosial sedemikian muncul dari dank arena adanya sikap keterbukaan dan kejujuran satu terhadap yang lain secara konsisten dan konsekuwen dipraktekkan. Lantas, Kepemilikan oleh siapa? Dan dari manakah sumber kepemilikan itu berasal? Persoalan seputar genetika pengetahuan ini umumnya merujuk pada (1) sejarah asal usul penghuni perdana yang datang di Kei, (2) kepemilikan juga bisa muncul dari proses dan hasil penaklukan suatu daerah.
Yong Ohoitimur (1983) misalnya mensinyalir bahwa belum ada bukti historis ilmiah tentang penduduk asli di Kei. Akan tetapi umumnya diakui bahwa struktur sistem sosial di Kei ditentukan oleh marga pertama yang masuk dan membuka suatu pemukiman yang baru (original) di wilayah pulau Kei. Penduduk pertama disebut Tuan tan (tuan tanah) yang sesungguhnya, yakni sebagai marga pertama yang datang dan menguasai wilayah petuanan. Admiral yang dikutip dalam Laksono (2002) misalnya mencatat bahwa pembentukan jurisdiksi teritori telah mulai dengan kehadiran kaum ‘tuan tan’ / atau ‘teran nuhu’. Kaum tuan tan yang pada dasarnya bercorak familiar genealogis –terdiri dari rahan yam atau riin fam (keluarga semarga) kemudian membentuk ohoi (kampung) sebagai satuan komunitas yang kemudian membentuk woma/belan (pusat kampung asli). Namun proses ini belum/tidak selesai hingga penetapan admiral Belanda di Kepulauan Kei tahun 1882. Kolonial mengubah status hubungan genealogis pada ohoi menjadi teritorial. Selanjutnya, barangkali status dan peran dari tuan tan yang dikenal pula sebagai teran nuhu / nuhu duan (penduduk asli perdana) di Kei merupakan sebuah isu yang paling kontroversial dan cukup sering diperdebatkan di Kei hingga kini (?).
J.P. Rahail misalnya (1993) tidak menyebutkan secara eksplisit kedudukan tuan tan dalam struktur kepemimpinan Kampung. Raja Dullah yang terkutip dalam A. Amirrachman (ed. 2007) misalnya menempatkan status tuan tan sebagai kelengkapan pemangku adat dalam mempersiapkan berbagai upacara adat, dan bukan menjadi bagian dari struktur hukum adat (kepemimpinan adat?). Tuan tan dikatakan berperan sebagai penjaga batas wilayah kampung, tetapi bukan pemilik tanah, namun ia bertanggung jawab tentang hak petuanan, penanaman dan penuaian hasil serta bertanggung jawab tentang cara-cara pelaksanaan upacara adat. Yong Ohoitimur (email 2005) juga menambahkan bahwa tuan tan berperan memberikan kesaksian mengenai batas tanah yang sudah dilanggar oleh pihak lain, tetapi yang bertindak secara hokum adalah kepala kampung. Demikian halnya dalam struktur pemerintahan kampung (lama) di wilayah nufit yang dibuat oleh A. Ngamel (dalam TIM LIPI, 2006), jabatan tuan tan tidak dicantumkan. Tuan tan baru disebutkan menjadi bagian dari dalam struktur pemerintahan adat ohoi (utan) dan lor, atau yang disebutkan oleh Tim LIPI sebagai lembaga-lembaga kepemimpinan adat Kei, dimana tuan tan berfungsi mengatur tanah petuanan dan persoalan administrasi pengelolaan sumber daya alam (nuhu met). Sedangkan F.A.E. Van Wouden (1968) sebaliknya telah mengidentifikasi tentang lima jenis jabatan struktur kepemimpinan kampung yaitu: orang kaya, tuan tan, leb, mitu duan dan dir u ham wang. Selanjutnya dikatakan bahwa tuan tan (tuan tanah, pemilik tanah) adalah pemilik resmi dari seluruh tanah milik kampung, tetapi sekarang fungsi ini lebih bersifat simbolik karena setiap kepala fam adalah juga pemilik tanah. Dan tuan tan lebih berfungsi sebagai hakim dalam perkara-perkara mengenai hak milik tanah. Sebagai nuhu duan, tuan tan umumnya berkedudukan sebagai ren (yang berkedudukan setara secara fungsional dengan mel?).
Secara Etimologis Ren berarti sumber utama, mula-mula ada di woma dan berkuasa atas nuhu met. Fungsinya adalah menjaga tanah dan fungsi penjaga perdamaian. Oleh karena itu, tugasnya adalah menjaga adat istiadat dan menjadi saksi dalam setiap perselisihan. Mitu duan dan tuan tan merupakan satu fungsi yang melekat dalam kasta ren. Bapak Refo melalui komunikasi pribadi (April 2007) misalnya mengakui bahwa di Letvuan, status tuan tan ada pada marga Renleew (dan El?) dan karenanya mereka selalu hadir memberikan kesaksian mengenai perkara tanah di Letvuan. Akan tetapi Kewenangan administratif tuan tan semakin dibatasi sejak posisi ini tidak diakui dalam struktur administratif kolonial di Kei. Memang kuatnya kontrol genealogis atas tanah dan sumber daya alam (oleh Tuan Tan) membuat Belanda berusaha menghancurkannya dengan membuat lebih banyak kebijakan politik dan legal sistem di Kei. Dengan demikian, tidak perlu diuraikan bahwa urusan menyangkut tanah, petuanan, nuhu met, hak kepemilikan terhadap sumber daya alam sudah barang tentu diketahui dan dituturkan dengan kokoh oleh tuan tan-tuan tan di setiap ohoi. Tinggal bagaimana pranata tuan tan ini ditemu kenali kembali, direvitalisasi, diakui dan diberdayakan dalam urusan penanganan konflik petuanan ohoi nuhu.
Bagaimana hubungan antara hak kepemilikan dan kekerabatan dengan saudara perempuan (hak makan?) Jarang sekali ditemukan literatur yang membahas khusus tentang kedudukan hak makan, kecuali pengakuan yang kokoh terhadap hak milik. Jadi dapat diasumsikan bahwa ‘hak makan’ lebih muncul dalam proses historis yang kemudian sebagai praktek kearifan lokal (best practice, local wisdom). Adapun struktur masyarakat Kei tersusun menurut garis patrilineal (keturunan bapak/ayah/maskulin : bdk. nama penghuni perdana tuan tan atau teran nuhu). Menurut kesaksian dari beberapa tokoh adat diantaranya Bp. A. Narwadan, Bp. J. Rengifurwarin & Bp. Letsoin yakni bahwa umumnya hak milik diwariskan kepada semua anak laki-laki; sedangkan hak makan diberikan kepada saudara perempuan. Di sini hak milik mendahului hak makan atau hak pakai. Logikanya adalah bahwa saudara perempuan akan kawin keluar dan menjadi bagian dari suaminya serta mendapatkan hak milik dari kepunyaan suaminya. Tetapi oleh ayah dan saudara lelaki, si wanita saudari mereka tersebut bisa mengambil dan memakai apa yang menjadi milik kepunyaan saudara dan ayahnya asalkan memberitahukan. Akan tetapi ada juga kasus dimana kendati saudari atau anak perempuan telah kawin keluar tetapi justru karena rasa kasih sayang dari ayah dan saudara-saudaranya maka dia diberikan sebidang tanah atau milik kepunyaan tertentu sebagai bekal untuk hidupnya. Dalam kasus ini maka si wanita tersebut telah mendapatkan hak kepemilikan pula atas barang yang diberikan. Inilah sebetulnya penjelasan yang otentik tentang kedudukan asali dari hak makan dan hak milik atas nuhu met di Kei.
Persoalannya adalah bagaiamana kedudukan hak kepemilikan bagi seseorang anak2 lelaki kalau lantaran salah satu atau beberapa alasan sehingga anak-anak laki-laki ada yang berpencar atau pergi merantau atau memilih pindah menetap di tempat lain, atau bahkan dalam kondisi yang ekstrim terjadi konflik keluarga yang mengakibatkan keluarnya anggota keluarga lelaki ke tempat lain? Apakah konflik dalam keluarga dan kepindahan tersebut serta merta memutuskan ikatan genealogisnya serta membatalkan hubungan familiar dan hak kepemilikannya atas warisan barang yang ditinggalkan? Instansi adat manakah yang berwenang memutuskan pokok persoalan seperti itu? Bp. J. Rengifurwarin misalnya menegaskan bahwa pada prinsipnya hak kepemilikan tetap melekat terus pada diri anak lelaki tersebut kendati berkonflik dan telah pergi dari rumah selamanya. Selebihnya, patut diakui bahwa belum ada penelitian yang komprehensif dan memadai secara ilmiah epistemologis untuk mengetahui persis masalah-masalah seperti ini. Isu-isu semisal dalam studi antropologi dan kajian budaya dikategorikan sebagai isu-isu sensitif yang perlu ditangani secara hati-hati (precautionary principle).
V
Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa hak makan dan hak milik adalah bagian dari ‘hak-hak kultural’ atas nuhu met yang mencakup sekaligus nilai keadilan dan nilai kekeluargaan. Saya hendak mentrandensikan lebih jauh makna nilai keadilan (dalam pengakuan akan hak milik) dan nilai kekerabatan menurut filosofi budaya Kei. Ini sejalan dengan dinamika perkembangan budaya masa kini. Perbedaan wacana dan hermeneutika budaya bahkan dalam bentuk konflik budaya lokal sungguhnya mencerminkan berbagai dinamika perkembangan termasuk dari para agen budaya sendiri. Karena memang setiap entitas dan identitas budaya pada dasarnya bercorak multi-entitas, multi-identitas dan bahkan multi-kultural (Ignas Kleden, 2007). Ini membuka ruang dialog, ruang dialektika komunikasi (sdov madivun?), guna memaknai dan mengarahkan berbagai paradoks budaya lokal menuju kemajuan sosial masyarakatnya.
Dengan demikian tanah dan saudara perempuan disini pada hakekatnya merupakan simbol dari keterkaitan antara hak milik, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hubungan kekeluargaan. Hukum adat Hawear Balwirin memang diadakan guna menegakkan hak kepemilikan dan menjamin hukum keadilan tersebut. Di sisi lain, semangat kekerabatan dan kekeluargaan amat ditekankan pula melalui semangat hak makan bersama. Ini kembali menggarisbawahi corak dan spirit kolektivitas dalam mendayagunakan nuhu met untuk kesejahteraan bersama. Akan tetapi guna mencegah praktek kekeluargaan dangkal yang mengarah pada praktek KKN a la Kei (Yong Ohoitimur, 2005), maka hendak dikedepankan di sini makna atau nilai solidaritas sebagai kualitas tertinggi mendasari semangat kekeluargaan. Sikap solider menunjuk sikap simpati dan empati mau turut berbagi dan merasakan apa yang dirasakan oleh sesama saudara-kerabat. Dan bukan atas dasar kepentingan pragmatis tertentu (Hanya mengenal dan mengeksploitasi nilai kekerabatan manakala ada kepentingan ekonomi atau politik tertentu misalnya)
Paradoks sikap hidup orang Kei yakni disamping punya hati yang lembut punya semangat kekeluargaan yang tinggi tetapi juga punya watak keras dan berani menanggung resiko membela dengan gigih suatu nilai yang diyakininya. Semangat kekeluargaan segera berganti konflik jika tidak dipraktekkan secara jujur & konsisten yang bisa berakibat tumbuhnya ketidakpercayaan, atau adanya rasa terpukul, terhina, atau tidak dihargai. Berikut hendak dicatat beberapa persoalan terkait untuk diantisipasi.
Berkaitan dengan problem nilai keadilan, dikenal sebuah istilah Ham Sar Lakes : pembagian yang tidak adil. Lakes adalah nama seorang tua yang membagi sesuatu dengan terlebih dulu mengambil bagian untuk dirinya sendiri kemudian orang lain (Yong Ohoitimur, 1983). Sikap tak adil seperti ini juga merupakan pemicu timbulnya konflik komunal atas nuhu met (yang mengakibatkan perasaan ‘musun’/’kurang hati’ tertentu yang berakhir dengan konflik?). Alasan lain timbulnya konflik adalah karena para saksi adat termasuk para rat sekarang cenderung sudah buta adat Kei. Dan alasan berikut yang cukup mendasar adalah ketidakjujuran dalam menuturkan sejarah atau budaya yang sebenarnya. Sikap tidak jujur ini ada pada banyak pemangku adat saat ini. Terutama jujur untuk mengakui dan mengatakan: “hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did” (yang dipraktekkan dalam bentuk berbagai macam sasi/hawear). Para saksi adat juga hendaknya memberikan kesaksian yang jujur, benar dan adil, bukannya memberikan “saksi waswasil” (kesaksian palsu). Bp. Refo misalnya dengan jujur mengakui bahwa tentang kedudukan kampung Letvuan beliau tidak tau dan tidak berwenang karena marga Refo dan Rumlus misalnya adalah pendatang. Sedangkan yang berwenang adalah Tuan tan marga Renleew (& El) bersama dengan Mayab dan Inuhan misalnya. Ketidakjujuran mengakibatkan tumpang-tindihnya sejarah yang menyulitkan ditemukannya common platform. Ke depan wilayah petuanan misalnya makin berhimpitan dengan wilayah administratif pemerintahan-negara yang akan menimbulkan konflik klaim kekuasaan (=kepemilikan). Apalagi makin bertambah tingginya nilai ekonomis (lapisan fisik) dari nuhu met yang kian terbatas sifatnya. Akan tetapi dalam semua perkara hendaknya diatasi melalui kerapatan adat atau sdov madivun (‘hanamang ivud rad’?) yang menurut hemat saya merupakan sebuah mekanisme komunikasi sosio kultural dalam menjembatani berbagai potensi konflik yang ada. Sebagai suatu preliminary consideration, tulisan ini barulah awal yang diharap mendorong para ilmuwan sosial muda untuk melakukan pengkajian ilmiah komprehensif tentang tema-tema budaya yang fenomenal, sensitif dan paradoksal seperti ini yang sudah barang tentu menantang tapi akan mengasyikan ke depan.
Akhirnya untuk menyemangati pergumulan kita selaku anak adat ke depan maka hendaknya dicamkan pepatah tua Kei yang dikemukakan oleh J,P. Rahail (1993) berikut ini: “Itdok fo ohoi itmian fo nuhu, itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir/bemiir, itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat, itwait teblo uban ruran, ikbo hukum adat enfangnan enbatang haraang, nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan, Duad enfangnan wuk” (= “Kita mendiami/menempati kampung/desa dimana kita hidup dan makan dari alam/tanahnya; kita menempati tempat kita dan tetap menjinjit bagian kita; kita tetap memikul semua kepentingan kampung / desa kita dengan hukum adatnya; kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus; Dengan demikian, barulah hukum adat akan menyayangi/melindungi kita; Sehingga leluhur pun ikut menjaga dan menyayangi kita; Dan, Allah pun melindungi kita, Amin!”). Dengan demikian akan tercapai kedamaian hakiki dan kehidupan lestari (sustainable life) di Bumi Larvul Ngabal ke depan. Semuanya masih berupa “harta lokal yang terpendam” (T. Abdullah, 2001). Adalah Tugas kita agen-agen pengembang budaya Kei masa kini untuk terus mencoba menemukenali dan mendayagunakannya (I. Kleden, 2007). S e m o g a !!
LITERATUR

1. Abdullah, T. (2001). “Harta Lokal Yang Terabaikan”, Makalah, Langgur.
2. Amirrachman, A. (ed.), 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku & Poso, Jakarta : ICIP.
3. Bowen, J.R. (2000). “Should We Have A Universal Concept of Indigenous People’s right?: Ethnicity & Essentialism in the Twenty First Century. Dalam Antrhropology Today, Vol. 16, Issue 4.
4. Kleden, I. (2007). Dari Identitas Budaya Ke Multikulturalisme, Ambon.
5. ———— (2001). Kebudayaan Lokal, Masyarakat Transisi, Indonesia Baru, Makalah : Langgur.
6. Nikijuluw, V.P.H. (1998). “Identification of Indigenonous Coastal Management (ICFM) System in Sulawesi, Maluku & Irian Jaya”, dalam Jurnal: Pengelolaan Sumber Daya Pesisir & Lautan Indonesia, Vol. I. No. 2. hal. 4 – 20.
7. Ohoitimur, Y. (1983). Beberapa Sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, STFSP, Manado.
8. ————— (2005). Paradoks Sikap Orang Kei, On line email.
9. Rahail, J.P. (1993). Larvul Ngabal: Hukum Adat Kei bertahan menghadapi arus perubahan. Jakarta : Yayasan Sejati.
10. Toisuta, H., dkk., (2007). “Damai…Damai di Maluku…” dalam Amirrachman A. (ed.). Revitalisasi Kearifan Lokal, Jakarta: ICIP, hal. 110-201.
11. Wouden, Van, F.A. E. (1968) Types of Social Structure in Eastern Indonesia, the Hague the Netherlands.
12. Yuniarti, Sri., dkk., (2006). Problematika Capacity Building: Kelembagaan Pemerintahan Lokal dalam Pengelolaan Konflik di Maluku, Jakarta: LIPI.
13. Laksono, P.M. (2002). The Common Ground in the Kei Islands, Yokyakarta: Galang Press.

Langgur, 19/04/07
Josep A. Ufi.


Actions

Information

Leave a comment