Perempuan dan Budaya Maluku

8 08 2009

Oleh: Josep Antonius Ufi.[2]

Pendahuluan

Dalam pertemuan-pertemuan terdahulu telah didiskusikan berbagai isue dan masalah seputar  “division of labour & role” antara perempuan dan laki-laki secara sosial budaya terutama dalam topik tentang ‘gender sebagai konstruksi sosial budaya’. (lihat, Ufi, 2005). Topik diskusi kali ini ‘Perempuan dan Budaya Maluku’ akan dibatasi hanya menyangkut beberapa aspek sosial budaya lokal yang relevan dengan, dan yang mendasari persoalan gender di Maluku, khususnya budaya patriarkinya.  Pertanyaannya adalah: manakah aspek-aspek budaya patriarki yang mendasari masalah gender di Maluku? Bagaimana kedudukan perempuan dalam tata budaya (patriarki) di Maluku? Transformasi budaya macam apa yang diperlukan guna mencegah dan mengurangi meluasnya  masalah gender di Maluku? Tidak semua segi budaya patriarki dibahas di sini. Makalah ini hanya menggarisbawahi beberapa aspeknya saja. Sebelum dibahas tentang budaya patriarki maka terlebih dahulu diberi pemahaman awal tentang apa itu ‘Budaya Maluku’.

1. Budaya Maluku : Pluralitas Tunggal?

Ada banyak sekali pengertian tentang kebudayaan. Di antaranya kebudayaan dimengerti sebagai keseluruhan pengetahuan manusia yang diperoleh dari hasil pengalaman dan interpretasi terhadap lingkungan (Huliselan, 2001). Di sini dicakup baik dimensi kognitif (budaya cipta) yang berupa sistem ide, gagasan-gagasan manusia, pandangan hidup, kosmologis, yang bercorak abstrak; serta dimensi evaluatif – normatif : sistem nilai dan norma budaya yang mengatur sikap dan perilaku manusia yang berbudaya ; tetapi juga dimensi simbolik berupa interaksi hidup manusia (pranata sosial) dan simbol-simbol yang digunakan dalam berbudaya khususnya simbol material (Kleden 1987; Endraswara, 2003). Sambil tetap mengingat betapa luas dan kompleksnya dimensi kebudayaan, seluas dan sekompleks manusia pencipta budaya itu sendiri, maka diskusi di sini hanya akan dibatasi pada beberapa hal yang relevan. Pertama-tama, hendak diangkat beberapa segi budaya maluku yang umum dan komparable.

Maluku secara geografis terdiri dari ribuan pulau kecil, dan secara sosio-demografis terdiri dari berbagai masyarakat dan sub-etnik yang menyebar dari ‘ujung Halmahera sampai Tenggara Jauh’.  Pertanyaannya, apakah ada satu kebudayaan tunggal saja di Maluku? Jawabannya: bisa ya, dan bisa juga tidak!  Tidak, karena orang-orang Kei, Aru, Tanimbar dan Selatan Daya misalnya yang sejak awal menganggap identitas dirinya sebagai ‘Maluku Terselatan’ (Maluku Tenggara) merasa berbeda dari ‘orang Lease- Ambon’, misalnya (entahkah ini disebabkan semata-mata oleh faktor sosial budaya saja atau faktor lain juga seperti faktor sosial politik, yang bisa diperdebatkan) (Terkutip dalam Laksono, 2002). Juga karena sistem stratifikasi sosial misalnya yang terdapat dalam tatanan masyarakat kei rupanya tidak dikenal di tempat lain seperti misalnya di Maluku Tengah.

Ya, karena: pertama, ada segi-segi sosio-budaya yang mirip atau sama –sekurang kurangnya dalam hal bentuknya (juga isinya?) antara daerah yang satu dan lainnya di Maluku seperti contoh: istilah ‘sasi’ dan ‘pela’ (dan gandong) di Maluku Tengah juga dikenal di Maluku Tenggara; Istilah ‘Pulau Ibu’ dikenal baik di Seram (Nusa Ina) tetapi juga di P. Babar (Noho Ine), juga budaya pata siwa dan pata lima di Maluku Tengah dapat dibandingkan dengan budaya ursiw dan lorlim di Kei Malra. Kedua, sejak awal oleh Antropolog Van Wouden yang mengutip dari gurunya J.P.B. de Josselin de Jong tentang bidang kajian antropologi misalnya mengatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan khususnya di Indonesia Timur, termasuk Maluku sebetulnya terkait satu sama lain dan karenanya dapat dilakukan perbandingan secara internal (terkutip dalam Laksono, 2002). Ketiga, terdapat kecenderungan logis (atau juga ideologis?) untuk dilakukan generalisasi budaya  -semacam pars pro toto– juga dalam bidang budaya dimana faktor budaya yang dominan dianggap bisa dijadikan sebagai ‘budaya pusat/ induk’ yang mewakili budaya-budaya atau sub-sub budaya lainnya. (Kleden, 1987). Contohnya: budaya Jawa di Indonesia, atau budaya  Siwa Lima di Maluku (Marrasabessy, 2002), tetapi juga budaya Larwul Ngabal di Maluku Tenggara (yang sekaligus sebagai semacam hegemoni budaya?). Keempat, kini sedang diperkenalkan apa yang disebut sebagai masyarakat dan kebudayaan kepulauan, suatu pandangan dan pendekatan yang integratif dan holistik tentang budaya dan masyarakat Maluku menurut cirikhas sosio-geografis dan sosio-demografisnya (Ajawaila, 2002). Disini budaya dan Masyarakat kepulauan umumnya dibagi atas dua bagian yaitu: budaya dan masyarakat darat/gunung, serta budaya dan masyarakat pantai / laut. Dan uniknya, ada tafsir budaya yang menempatkan budaya dan masyarakat darat/gunung sebagai bercirikan maternalis-feminin, sedangkan masyarakat laut/pantai sebagai bercirikan paternalis-maskulin, sebagaimana yang dianggap bisa direpresentasi oleh budaya patasiwa dan patalima, yang hubungannya bercorak dialektis dan bukan kontradiktif, serta dengan peranannya masing-masing (Huliselan, 2001). Dalam arti ini maka adalah cukup tepat pendapat bahwa budaya Maluku hendaknya mengacu pada paradigma budaya patasiwa dan patalima ini (Marasabessy, 2002). Setelah dikemukakan beberapa hal yang umum di dalam budaya Maluku maka berikut ini hendak didiskusikan tentang budaya partiarki di Maluku dan kedudukan perempuan di dalam budaya patriarki tersebut.

2. Kedudukan Perempuan dalam Budaya Patriarki di Maluku?

Budaya patriarki adalah budaya dimana sistemnya mengarah pada kekuasaan laki-laki, artinya sistem tersebut membuat perempuan dikuasai oleh laki-laki dalam segala aspek kehidupan dengan berbagai macam cara, terjadinya amat variatif di semua tempat, bidang dan lembaga kehidupan sosial; tetapi juga berkembang sesuai dengan evolusi peradaban manusia. (KWI-Sekretariat Jaringan Mitra Perempuan, 2005).

Kalau ditelusuri dengan cermat, maka sebetulnya ‘intensionalitas’ dari budaya patriarki secara diam-diam sudah disetting oleh kaum lelaki pada awal terbentuknya tatanan sosial budaya sejak evolusi peradaban manusia melalui era tradisionalisme: monarki absolut, aristorkasi, feodalisme, hingga kepada transisi menuju demokrasi masa kini. Sedemikian halusnya cara menyusupkan asumsi-asumsi maskulinistis dan paternalistis ke dalam norma, struktur dan praksis kehidupan sosial tersebut pada awalnya dengan cara –regime of significance, concern and voluntarya la Gramsci (terkutip dalam Hikam, 1999), sehingga semuanya diterima secara spontan, terberi, kodrati, diterima, dihayati dan dipraktekkan dengan sadar penuh oleh kaum perempuan di dalam setiap peranan yang diberikan, karena disana ditemukan dan dialami kepenuhan makna hidup baik jasmaniah maupun rohani-batiniah.

a. Di sini sekedar diangkat dua contoh yang agak ekstrim yaitu di Maluku Tengah dan Maluku Tenggara. Dalam kasus Maluku Tengah, diasumsikan bahwa budaya egalitarianime: kesamaan tertentu antara laki-laki dan perempuan lebih dikedepankan mengingat tidak adanya sistem stratifikasi sosial (yang diandaikan lebih memperkuat lagi posisi laki-laki dan lebih melemahkan posisi perempuan). Visi antropologis manusia Maluku Tengah misalnya merupakan pandangan dualisme dialektis antara laki-laki dan perempuan, dan dijadikan sistem nilai dasar kehidupan sosialnya. Pembagian tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut (Huliselan, 2001):

r     Pengelompokan berdasarkan kekuasaan, Patasiwa (laki-laki) dan Patalima (Perempuan);

r     Pengelompokan penduduk berdasarkan territorial, Aman (ama = ayah) dan Hena (ina = ibu);

r     Pembagian territorial negeri (desa): lau (laki-laki) dan dara (perempuan);

r     Pembagian rumah adat (baileu) atas bagian perempuan dan laki-laki;

r     Penggolongan jabatan-jabatan adat: Kapitan (laki-laki), Maweng (pendeta adat/perempuan), Tuan Tanah (perempuan), Raja (laki-laki);

r     Pengelompokan Mata rumah (marga): ke dalam kelompok laki-laki dan perempuan pada upacara adat komunal.

Di sini laki-laki mewakili karakter kejantanan, kekerasan, peperangan dan keributan, sedangkan perempuan mewakili karakter kesuburan, kelembutan, kedamaian, dan kesejukan. Dualisme ini dipandang bukanlah bercorak konfliktual atau kontradiktif melainkan lebih bercorak dialektis menuju kesempuarnaan totalitas sebagai laki-laki dan perempuan. Sampai di sini, terlihat adanya visi antropologis-kultural yang wajar sesuai dengan hakekat dimensi seksual (jenis kelamin) yang dimiliki secara kodrati. Di sisi lain, ada semacam ‘kecenderungan bias gender’ yang secara diam-diam dilabelkan pada peran laki-laki dan perempuan di Maluku Tengah (Seram). Seperti ditemukan dalam ungkapan mutiara berikut ini (depdikbud 1996/1997).

“Anak laki-laki pegang parang salawaku, Anak perempuan pegang sempe aru-aru”. Sempe aru-aru adalah tempat untuk memasak papeda. Ini adalah simbol dari ketrampilan memasak; sedangkan laki-laki hendaknya terampil memainkan parang salawaku. Kualitas-kualitas tersebut amat menentukan tingkat kedewasaan dan kematangan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan, bahkan menentukan kesiapan untuk kawin. Seperti dalam ungkapan: “Kalau belum sanggup pegang sempe dan aru-aru, jangan cepat terima lamaran pria”, dan “kalau belum sanggup pegang parang salawaku, jangan melamar gadis orang”.

Kecenderungan seperti ini atas diduga cara tertentu bisa secara diam-diam turut mempengaruhi hal mengidentifikasikan diri, peran, pilihan ke depan termasuk pilihan pendidikan dan profesi, hal mana perempuan cenderung mengurus pekerjaan domestik, memilih pendidikan SMKK dan sejenisnya, sedangkan laki-laki lebih memilih pendidikan dan pekerjaan teknis dst. Benar tidaknya hal ini masih memerlukan kajian dan penelitian lapangan untuk mengujinya.

b. Dalam kasus Masyarakat Kei – Maluku Tenggara, masalah ini tampak lebih rumit: terkesan adanya kecenderungan cultural yang bercorak kontradiksif-ironik (?) dalam hal memperlakukan laki-laki tetapi terutama perempuannya. Visi antropologi Kei yang kendati lebih bercorak komunalisme maskulinistik/paternalistik menempatkan perempuan pada posisi yang sedemikian tinggi dan luhurnya misalnya di dalam hukum adat larvul ngabal khususnya sistem norma hukum Hanilit dan Hawear Balwirin (apakah sedemikian detailnya hukum tentang perempuan tersebut dihasilkan dengan sadar dan dengan pemahaman penuh untuk menjaga martabat kemanusiaan dari wanita, atau lebih karena kasus pelecehan terhadap Ibu Dit Sakmas?). Khusus mengenai hukum hawear balwirin misalnya yang mengatur hak milik terdapat sebuah penafsiran bahwa perempuan khususnya yang sudah menikah merupakan hak milik sepenuhnya dari lelaki yang nota bene suaminya. Perlu terus dicermati dan dikritisi bahwa norma perlindungan terhadap perempuan tersebut adalah entahkah demi memungkinkan kebebasan dan menjaga martabat kemanusiaan dari si perempuan ataukah bisa lebih dipersepsikan atas cara tertentu sebagai strategi cultural yang sedemikian halus dan diam-diam guna menguasai perempuan (hegemonik)?

Dalam perkara perkawinan misalnya, perempuan kei umumnya tidak bebas menentukan jodoh, melainkan ditentukan oleh orang tua dan keluarga khususnya laki-laki. Perbedaan dalam strata sosial telah merupakan sebuah picu dan batu sandungan dalam perkawinan perempuan (termasuk laki-laki) di Kei. Dan bahkan apabila mengikuti kata hati sendiri dalam hal jodoh karena faktor ‘cinta personal’ maka resikonya ialah dikucilkan dari keluarga, yang umumnya difatwakan oleh kaum bapa. Masalah pendidikan dan pilihan profesi juga umumnya masih ditentukan oleh orang tua. Dengan demikian tampaknya, visi dan praktek budaya siwa lima di Maluku Tengah tidak dengan sendirinya sama dalam segala aspeknya dengan budaya ursiw lorlim di Maluku Tenggara.  Dimensi lainnya ialah perlunya kajian khusus mengenai seberapa jauhnya pengaruh kolonial khususnya dalam turut serta mendistorsi ‘orisinalitas’ dari budaya di Maluku.

3. Perlunya Transformasi Budaya Menuju  Maluku Baru yang Demokratis.

Pertanyaannya: transformasi budaya macam apa yang diperlukan membangun maluku baru yang demokratis berwawasan gender ke depan?

Pemahaman dan kesadaran gender termasuk di Maluku amat dipengaruhi oleh kesadaran global dan nasional akan penting dan urgensinya penegakan HAM dan Demokrasi dalam segenap bidang kehidupan publik dan privat. Kesadaran seperti ini telah dialami oleh banyak orang Maluku baik di perkotaan maupun lambat laun ke pedesaan melalui banyak media seperti media pendidikan, media massa, pergaulan dan interaksi sosial dengan pihak luar, termasuk mengalami kebaruan di perantauan.

Perlu dilakukan kajian-kajian empiris kualitatif dan komparatif untuk menginventarisir dan membuat konvergensi mengenai unsur-unsur budaya Maluku yang sama dan mirip (prinsip similaritas) dan yang relevan yang mendukung pengembangan HAM, demokrasi dan yang berwawasan gender (Ben Mboi, 2000). Perlu dilakukan semacam ‘relativisme budaya’, ‘desakralisasi budaya’ (khususnya segi normatifnya) tertentu dalam pengertian tidak terlalu menganggap nilai budaya sebagai absolut, mutlak dan final, dan given, melainkan hendaknya terus dikaji dan kembangkan dimensi kognitifnya yang lebih kontekstual, relevan dan dinamis sesuai dengan kebutuhan sosial saat ini dan nanti –yang mendukung HAM, dekokrasi dan berwawasan gender (Alam, 2000, Kleden 1987). Kajian proses dan produk budaya yang dinamis tersebut pada saatnya perlu disosialisasikan dan dimanfaatkan melalui praktek pendidikan dan praksis pembangunan umumnya, serta lebih khusus melalui strategi rekayasa kebudayaan lokal ke depan.

Penutup.

Demikian hendak dikemukakan satu dua pokok pikiran sekedar untuk merangsang dan menuntun diskusi kita tentang topik Perempuan dan Budaya Maluku. Beberapa pertanyaan untuk direfleksikan dan didiskusikan lebih lanjut:

r     Sebutkanlah segi-segi budaya Maluku (dari semua daerah) yang bias gender atau yang mengandung budaya patriarki;

r     Sebutkan bidang-bidang kehidupan bersama yang masih rawan terhadap praktek budaya patriarki;

r     Sebutkanlah unsur-unsur budaya lokal yang mendukung egalitarianisme dan demokrasi dan penegakan martabat perempuan (yang adil gender).

r     Adakah usul, saran dan pendapat anda untuk mendorong transformasi budaya Maluku demi mendukung penegakan HAM, demokrasi dan adil gender di Maluku.

REFERENSI

  1. Ajawaila, J.W. (2002) Antropologi dan Pulau- Pulau Kecil, Sebuah Kajian Makro tentang Pembangunan Masyarakat Pulau, Ambon.
  2. Depdikbud, 1996 / 1997, Dari Nunusaku Bertarung di Laut Mutiara., Ambon.
  3. Endraswara, S. Drs. (2003) Metodologi Penelitian Kebudayaan, Gajah Mada University Press, Jokyakarta.
  4. Huliselan, M (2001) Pemberdayaan Kebudayaan Maluku Tengah Untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Masyarakat Maluku Menuju Indonesia Baru, Langgur, 2001.
  5. Kleden, I. (1987) Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.
  6. ———— (2001). Kebudayaan Lokal, Masyarakat Transisi, dan Indonesia Baru.
  7. Laksono, P.M. (2002). The Common Ground in the Kei Islands, [Eggs from One Fish and One Bird], Galang Press, Yokyakarta.
  1. Marasabessy, S., (ed.) (2002). Maluku Baru, Satu Wujud Ideal Masyarakat Maluku Pasca Konflik, PT. Abadi, Ambon.
  2. Ufi, J.A. (2005). Gender Sebagai Konstruksi Sosial Budaya, Paper, Ambon.
  3. ——–.(2001). Transformasi Budaya Lokal Menuju Masyarakat yang Demokratis (Perspektif Kritis Otonomi Daerah di Kab. Maluku Tenggara), Esai, Tidak dipublikasikan.
  4. Waremra, R.M. Pemberdayaan Kebudayaan Lokal untuk Perdamaian, Langgur, 2001.

Ambon, 25 Maret 2005.


[1] Makalah disampaikan pada Lokakarya Sosialisasi dan Penyadaran “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki Sebagai Citra Allah”, kerjasama Keuskupan Amboina dan Departemen Agama, Kantor Wilayah Provinsi Maluku  di Ambon, tanggal 25 Maret 2006.

[2] Josep A. Ufi, MA. Praktisi dan Peminat Masalah Sosial Budaya. Sekretaris Eksekutif INLULINS (Institut Kepulauan Kecil Dangkalan Sahul) Ambon, HP: 081343328450; email: oce20002000@yahoo.com


Actions

Information

Leave a comment